Kemerdekaan
Teks Proklamasi
Mendengar kabar bahwa Jepang tidak lagi mempunyai kekuatan untuk membuat
keputusan seperti itu pada 16 Agustus,
Soekarno membacakan "Proklamasi" pada hari berikutnya. Kabar mengenai
proklamasi menyebar melalui radio dan selebaran sementara pasukan militer Indonesia pada
masa perang, Pasukan Pembela
Tanah Air (PETA), para pemuda, dan lainnya langsung berangkat
mempertahankan kediaman Soekarno.
Pada 29 Agustus
1945 kelompok tersebut
melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai
Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari
sebelumnya. BPUPKI dinamakan menjadi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan
menjadi badan pemerintahan sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok
ini mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki
Republik Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (termasuk
wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil.
Dari 1945 hingga 1949, persatuan kelautan
Australia yang bersimpati dengan usaha kemerdekaan, melarang segala pelayaran
Belanda sepanjang konflik ini agar Belanda tidak mempunyai dukungan logistik
maupun suplai yang diperlukan untuk membentuk kembali kekuasaan kolonial.
Usaha Belanda untuk kembali berkuasa dihadapi perlawanan yang kuat. Setelah
kembali ke Jawa, pasukan Belanda segera merebut kembali ibukota kolonial Batavia , akibatnya para nasionalis menjadikan Yogyakarta sebagai ibukota
mereka. Pada 27 Desember
1949, setelah 4 tahun
peperangan dan negosiasi, Ratu Juliana dari
Belanda memindahkan kedaulatan kepada pemerintah Federal Indonesia.
Pada 1950, Indonesia
menjadi anggota ke-60 PBB.
Tidak lama setelah itu, Indonesia
mengadopsi undang-undang
baru yang terdiri dari sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya
dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada
partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi
pemerintah yang stabil susah dicapai.
Peran Islam di
Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara
beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang
yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.
Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan
pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk
mengembangkan konstitusi baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya
pada 1959 ketika Presiden Soekarno secara unilateral
membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang memberikan
kekuatan presidensil yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.
Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang
otoriter di bawah label "Demokrasi
Terpimpin". Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia
menuju non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara
bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin
tersebut berkumpul di Bandung,
Jawa Barat pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk
mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
Pada akhir 1950-an
dan awal 1960-an,
Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai
Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai
komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya
tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di
negara-negara lainnya.
Soekarno
menentang pembentukan Federasi Malaysia,
dia mengatakan bahwa hal tersebut adalah sebuah "rencana
neo-kolonial" untuk mempermudah rencana komersial inggris di wilayah
tersebut. Ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara pasukan Indonesia dan
Malaysia dan Inggris.
Gerakan 30 September
Hingga 1965,
PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk
memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari Soekarno,
memulai kampanye untuk membentuk "Angkatan Kelima"
dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
Pada 30 September
1965, enam jendral senior
dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan
kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi
Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto,
menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan
situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-orang
yang dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa pada 1966 mencapai setidaknya
500.000; yang paling parah terjadi di Jawa dan Bali.
Orde Baru
Pada 1968, MPR secara resmi
melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian
dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993,
dan 1998.
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam
dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan
dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde
Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan
menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer
namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. Selama masa
pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya
alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun
tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan
dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an
dan 1980-an. Dia juga
memperkaya dirinya, keluarganya, dan rekan-rekat dekat melalui korupsi yang
merajalela.
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya didampingi B.J. Habibie. Pada
pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia, disertai
kemarau terburuk dalam 50
tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin
jatuh. Rupiah jatuh, inflasi
meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang
awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah
gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah
MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil
Presiden, B. J. Habibie,
untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Reformasi
Presiden Habibie segera membentuk sebuha kabinet. Salah satu tugas
pentingnya adalah kembali mendaptkan dukungan dari Dana Moneter
Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program
pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi
kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan
putri Soekarno, Megawati
Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan
mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto -
sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai
Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai
Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) 10%. Pada Oktober 1999,
MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil
presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet
Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan
perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian
ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar
etnis dan antar agama, terutama di Aceh,
Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang
ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan
kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan
masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan
tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan
politik yang meluap-luap.
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan
laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran
menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan
keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk
memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan
keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil
presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.
Pada 2004, pemilu satu hari
terbesar di dunia diadakan dan Susilo
Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah
baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan
besar, seperti gempa bumi
besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan
sebagian dari Aceh serta gempa bumi
lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
Pada 17 Juli
2005, sebuah kesepakatan
bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh
Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30
tahun di wilayah Aceh.
No comments:
Post a Comment