Oleh Ahmad Bashri
Awal penciptaan manusia adalah sebagai makhluk
individu yang hanya mempunyai tanggung jawab kepada Sang Pencipta. Tanggung
jawab sosial pertama kali muncul saat diciptakan oleh-Nya seorang hawa di muka
bumi. Sejak saat inilah awal mula kehidupan manusia sampai saat ini yang turun
temurun meskipun ada teori yang menyatakan bahwa ada kemiripan manusia dengan
kera purba sehingga di duga kera purba adalah nenek moyang manusia.
Sang Khaliq menciptakan
makhluk dengan berpasang-pasangan ternyata tersurat dan tersirat banyak rahasia
ilahiah. Dalam Al Qur’an dinyatakan ”... waja’alnakum syu’uban waqobaila
lita’arafu...” ...aku ciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya
saling mengenal dan belajar antar sesamanya... Populasi manusia hari ini dengan
jumlah ribuan juta yang tersebar pada 5 benua merupakan cucu-cucu dari anak
turun adam (Qabil-Habil-Syith). Tentunya pada masing-masing komunitas terdapat
pemimpin yang mampu menciptakan kharisma, selanjutnya disegani dan patuhi. Lebih lengkap,
budaya-peradaban manusia dapat kita pelajarai pada sejarah dunia.
Di indonesia, fakta
ini dapat dilihat dari munculnya kerajaan-kerajaan mulai dari kerajaan pra
Islam (hindu-budha) sampai kerajaan Islam dengan corak khas masing-masing.
Sebelum masuknya bangsa-bangsa asing ke nusantara, Indonesia masih mempunyai budaya
lokal yang melambangkan identitas, trend, dan kepentingan pada masanya. Seiring dengan semangat
pelayaran dunia untuk tujuan gold, gospel,
dan glory maka telah terjadi
akulturasi. Kepentingan untuk menciptakan pengaruh di nusantara mulai muncul, untuk
menarik simpati pribumi dengan tujuan awal perdagangan, bangsa Cina-Arab-Eropa
mengenalkan kebudayaannya perlahan dan pasti. Riwayat kolonialisme berawal dari
penamaan (naming). Columbus pada abad ke-15 menemukan sebuah pulau di kawasan
Karibia, dan menamakannya ”Amerika”. Belanda datang ke Jawa dan menemukan satu
bentuk adat istiadat yang kemudian dinamai ”hukum adat”, atau pelayan dalam
rumah tangga yang dinamai ”babu”. Maka hal itu ditulis, lalu terbentuklah teks,
dan lama-kelamaan masa lalu pun berwujud menjadi teks yang dikaji, dipelajari,
dan dianalisis (Baso, 2005:49).
Berangkat dari berdagang
kemudian menjadi monopoli perdagangan dan berujung penindasan/penjajahan. Hal
inilah barangkali yang bisa kita pelajari dari masuknya bangsa Eropa di
Nusantara. Muncul para pahlawan nasional yang memperjuangkan negerinya keluar
dari penindasan. Kita kenal nama Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin, Cut Nyak
Dien, Pangeran Diponegoro, dll. sebagai pejuang yang harus menyerahkan akhir
hayatnya di tangan penjajah. Tiga setengah abad negeri ini terkungkung dalam
cengkeraman kolonialisme. Atas perasaan senasib dari para anak bangsa serta
atas kebijakan politik etis Belanda muncul kebangkitan nasional. Budi Utomo di
tahun 1908, Sumpah Pemuda tahun 1928, puncaknya adalah masa kemerdekaan RI
tahun 1945 yang mengusung Soekarno-Hatta sebagai nahkoda. Perjuangan pasca kemerdekaan masih panjang, kondisi
perekonomian, pendidikan, dan segala aspek bangsa perlu segera distabilkan.
Untuk mencapai kondisi yang stabil, konstitusi RI mengalami beberapa kali
perubahan. Negara Republik Indonesia (RI) pertama pada 17 Agustus 1945, negara
RI Serikat 1949 (republik kedua), negara RI Sementara 1950 (republik ketiga),
Negara Dekrit 5 Juli 1959 (republik keempat), era perang dingin, republik
kelima 1963 (plus Papua), republik keenam 1974 (plus Timor Timur), gelombang
ketiga demokratisasi, dan kembali ke republik kelima 1999 (tanpa Timor Timur).
Sejak reformasi sampai
sekarang masih belum ada suatu perubahan yang berarti dan bisa kita banggakan.
Namun kita sempat terkejut dengan disabetnya
medali olimpiade fisika oleh putra-putra bangsa di tengah-tengah kemelut
problematika bangsa. Perekonomian yang dipandang sebagai kunci pembebasan dari
krisis pun tak kunjung terselesaikan. Pokok permasalahannya pada mentalitas
bangsa Indonesia yang rendah. Sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dilantik
sampai sekarang, beliau sering mendapat kritikan terutama kritik tersebut terpusat pada
prioritas kebijakannya tentang pemberantasan KKN. Mbuletnya birokrasi dan aturan tentang penegakan hukum membuat
kasus KKN tidak segera terselesaikan. Banyak tersangka kasus KKN dibebaskan
karena tidak adanya ”bukti” dan setelah dikaji ternyata negara tidak
”dirugikan”. Sebagai contoh kasus privatisasi BCA, atas desakan IMF BCA dijual
5 triliun untuk 51% sahamnya dan kalau ditotal menjadi 10 triliun untuk 100%
sahamnya. Padahal di dalam BCA ada tagihan 60 triliun kepada pemerintah per
tahunnya. Jadi kalau dihitung, privatisasi BCA memberikan pemasukan kas negara
sebesar 10 triliun namun negara harus membayar 60 triliun per tahunnya akibat
kebijakan ini. Banyak kasus KKN tidak dianggap sebagai korupsi karena pada
dasarnya yang dilakukan adalah Corrupted
mind sehingga Indonesia dianggap negara paling terkorup di dunia meskipun
koruptornya berjumlah sangat sedikit. KKN dalam bentuk Corrupted mind ini sebenarnya lebih berbahaya daripada KKN yang
terang-terangan karena kebijakannya sudah korupsi sehingga menyengsarakan
rakyat (Gie, 2005:43-49).
Dengan pemberlakuan UU No 22/1999 dan UU No 25/1999, tentang otonomi daerah
telah memunculkan harapan baru dengan pembentukan 70-an provinsi/kabupaten/kota
baru. Banyak daerah-daerah yang belum siap dengan aturan baru ini karena
kebiasaan daerah yang kurang mandiri dan terbiasa menghidupi daerahnya sendiri.
Kondisi ini diperparah dengan semakin merajalelanya KKN secara terang-terangan
di daerah-daerah yang sebelumnya peredaran ini terjadi di pusat.
Sektor pendidikan pun dicoba untuk menjadi prioritas utama pembangunan
bangsa. Diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004 sebagai
titik terang awal menuju otonomi pendidikan. Alhasil, para pendidik bangsa ini
belum siap dengan ”aturan main” yang ada. Dengan kondisi ”agak terpaksa”
akhirnya KBK diimplementasikan dalam pembelajaran sehari-hari. Pasca KBK,
diberlakukan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional no. 22, 23, dan 24 tahun
2006. Peraturan ini mengatur kurikulum pada masing-masing satuan pendidikan
(sekolah) sebagai pelaksana pendidikan di bawah. Beberapa sumber menyatakan
bahwa dengan peraturan ini berdampak pada kapitalisme dunia pendidikan dan
menjadikan sekolah menjadi latah.
Hemat saya, kita tidak perlu su’uddhon
dulu sebelum membaca dan memahami kebutuhan pendidikan nasional.
Perang antar kebudayaan dan
idiologi antar bangsa sangat dirasakan oleh negara Indonesia dengan jumlah
penduduk yang lebih dari 200 juta. Berbagai proyek penanaman idiologi oleh
bangsa-bangsa maju kepada negara-negara berkembang genjar dilakukan untuk
menjadikan negaranya sebagai pusat peradaban dunia. Triliunan dana dikeluarkan
untuk kepentingan ini. Mampukah Indonesia membawa jati dirinya di tengah-tengah
arus globalisasi yang tanpa batas? Mungkin kita semua yang bisa menjawab lewat
aktivitas sehari-hari yang kita lakukan. Ada baiknya pula jika kita terapkan
prinsip 3M yaitu 1) mulai dari diri sendiri, 2) mulai dari hal yang terkecil,
dan 3) mulai dari sekarang. Kemandirian disertai dengan kesabaran dan doa
adalah jalan keluar dari kemelut bangsa yang ada.
Wallahul Muwaffiq Ila
Aqwamit Thoriq
Wassalamu’alaikum War.
Wab.
Sumber : PC PMII Kota Malang
No comments:
Post a Comment