Breaking News

Wednesday 20 January 2016

KE - INDONESIA - AN

INDONESIA DAN POTRET MASA DEPAN 
Oleh Ahmad Bashri 



Awal penciptaan manusia adalah sebagai makhluk individu yang hanya mempunyai tanggung jawab kepada Sang Pencipta. Tanggung jawab sosial pertama kali muncul saat diciptakan oleh-Nya seorang hawa di muka bumi. Sejak saat inilah awal mula kehidupan manusia sampai saat ini yang turun temurun meskipun ada teori yang menyatakan bahwa ada kemiripan manusia dengan kera purba sehingga di duga kera purba adalah nenek moyang manusia.
Sang Khaliq menciptakan makhluk dengan berpasang-pasangan ternyata tersurat dan tersirat banyak rahasia ilahiah. Dalam Al Qur’an dinyatakan ”... waja’alnakum syu’uban waqobaila lita’arafu...” ...aku ciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya saling mengenal dan belajar antar sesamanya... Populasi manusia hari ini dengan jumlah ribuan juta yang tersebar pada 5 benua merupakan cucu-cucu dari anak turun adam (Qabil-Habil-Syith). Tentunya pada masing-masing komunitas terdapat pemimpin yang mampu menciptakan kharisma, selanjutnya disegani dan patuhi. Lebih lengkap, budaya-peradaban manusia dapat kita pelajarai pada sejarah dunia.
Di indonesia, fakta ini dapat dilihat dari munculnya kerajaan-kerajaan mulai dari kerajaan pra Islam (hindu-budha) sampai kerajaan Islam dengan corak khas masing-masing. Sebelum masuknya bangsa-bangsa asing ke nusantara, Indonesia masih mempunyai budaya lokal yang melambangkan identitas, trend, dan kepentingan pada masanya. Seiring dengan semangat pelayaran dunia untuk tujuan gold, gospel, dan glory maka telah terjadi akulturasi. Kepentingan untuk menciptakan pengaruh di nusantara mulai muncul, untuk menarik simpati pribumi dengan tujuan awal perdagangan, bangsa Cina-Arab-Eropa mengenalkan kebudayaannya perlahan dan pasti. Riwayat kolonialisme berawal dari penamaan (naming). Columbus pada abad ke-15 menemukan sebuah pulau di kawasan Karibia, dan menamakannya ”Amerika”. Belanda datang ke Jawa dan menemukan satu bentuk adat istiadat yang kemudian dinamai ”hukum adat”, atau pelayan dalam rumah tangga yang dinamai ”babu”. Maka hal itu ditulis, lalu terbentuklah teks, dan lama-kelamaan masa lalu pun berwujud menjadi teks yang dikaji, dipelajari, dan dianalisis (Baso, 2005:49).
Berangkat dari berdagang kemudian menjadi monopoli perdagangan dan berujung penindasan/penjajahan. Hal inilah barangkali yang bisa kita pelajari dari masuknya bangsa Eropa di Nusantara. Muncul para pahlawan nasional yang memperjuangkan negerinya keluar dari penindasan. Kita kenal nama Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin, Cut Nyak Dien, Pangeran Diponegoro, dll. sebagai pejuang yang harus menyerahkan akhir hayatnya di tangan penjajah. Tiga setengah abad negeri ini terkungkung dalam cengkeraman kolonialisme. Atas perasaan senasib dari para anak bangsa serta atas kebijakan politik etis Belanda muncul kebangkitan nasional. Budi Utomo di tahun 1908, Sumpah Pemuda tahun 1928, puncaknya adalah masa kemerdekaan RI tahun 1945 yang mengusung Soekarno-Hatta sebagai nahkoda. Perjuangan pasca kemerdekaan masih panjang, kondisi perekonomian, pendidikan, dan segala aspek bangsa perlu segera distabilkan. Untuk mencapai kondisi yang stabil, konstitusi RI mengalami beberapa kali perubahan. Negara Republik Indonesia (RI) pertama pada 17 Agustus 1945, negara RI Serikat 1949 (republik kedua), negara RI Sementara 1950 (republik ketiga), Negara Dekrit 5 Juli 1959 (republik keempat), era perang dingin, republik kelima 1963 (plus Papua), republik keenam 1974 (plus Timor Timur), gelombang ketiga demokratisasi, dan kembali ke republik kelima 1999 (tanpa Timor Timur).

Sejak reformasi sampai sekarang masih belum ada suatu perubahan yang berarti dan bisa kita banggakan. Namun kita sempat terkejut dengan disabetnya medali olimpiade fisika oleh putra-putra bangsa di tengah-tengah kemelut problematika bangsa. Perekonomian yang dipandang sebagai kunci pembebasan dari krisis pun tak kunjung terselesaikan. Pokok permasalahannya pada mentalitas bangsa Indonesia yang rendah. Sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dilantik sampai sekarang, beliau sering mendapat kritikan  terutama kritik tersebut terpusat pada prioritas kebijakannya tentang pemberantasan KKN. Mbuletnya birokrasi dan aturan tentang penegakan hukum membuat kasus KKN tidak segera terselesaikan. Banyak tersangka kasus KKN dibebaskan karena tidak adanya ”bukti” dan setelah dikaji ternyata negara tidak ”dirugikan”. Sebagai contoh kasus privatisasi BCA, atas desakan IMF BCA dijual 5 triliun untuk 51% sahamnya dan kalau ditotal menjadi 10 triliun untuk 100% sahamnya. Padahal di dalam BCA ada tagihan 60 triliun kepada pemerintah per tahunnya. Jadi kalau dihitung, privatisasi BCA memberikan pemasukan kas negara sebesar 10 triliun namun negara harus membayar 60 triliun per tahunnya akibat kebijakan ini. Banyak kasus KKN tidak dianggap sebagai korupsi karena pada dasarnya yang dilakukan adalah Corrupted mind sehingga Indonesia dianggap negara paling terkorup di dunia meskipun koruptornya berjumlah sangat sedikit. KKN dalam bentuk Corrupted mind ini sebenarnya lebih berbahaya daripada KKN yang terang-terangan karena kebijakannya sudah korupsi sehingga menyengsarakan rakyat (Gie, 2005:43-49).
Dengan pemberlakuan UU No 22/1999 dan UU No 25/1999, tentang otonomi daerah telah memunculkan harapan baru dengan pembentukan 70-an provinsi/kabupaten/kota baru. Banyak daerah-daerah yang belum siap dengan aturan baru ini karena kebiasaan daerah yang kurang mandiri dan terbiasa menghidupi daerahnya sendiri. Kondisi ini diperparah dengan semakin merajalelanya KKN secara terang-terangan di daerah-daerah yang sebelumnya peredaran ini terjadi di pusat.
Sektor pendidikan pun dicoba untuk menjadi prioritas utama pembangunan bangsa. Diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004 sebagai titik terang awal menuju otonomi pendidikan. Alhasil, para pendidik bangsa ini belum siap dengan ”aturan main” yang ada. Dengan kondisi ”agak terpaksa” akhirnya KBK diimplementasikan dalam pembelajaran sehari-hari. Pasca KBK, diberlakukan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional no. 22, 23, dan 24 tahun 2006. Peraturan ini mengatur kurikulum pada masing-masing satuan pendidikan (sekolah) sebagai pelaksana pendidikan di bawah. Beberapa sumber menyatakan bahwa dengan peraturan ini berdampak pada kapitalisme dunia pendidikan dan menjadikan sekolah menjadi latah. Hemat saya, kita tidak perlu su’uddhon dulu sebelum membaca dan memahami kebutuhan pendidikan nasional.
  Perang antar kebudayaan dan idiologi antar bangsa sangat dirasakan oleh negara Indonesia dengan jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta. Berbagai proyek penanaman idiologi oleh bangsa-bangsa maju kepada negara-negara berkembang genjar dilakukan untuk menjadikan negaranya sebagai pusat peradaban dunia. Triliunan dana dikeluarkan untuk kepentingan ini. Mampukah Indonesia membawa jati dirinya di tengah-tengah arus globalisasi yang tanpa batas? Mungkin kita semua yang bisa menjawab lewat aktivitas sehari-hari yang kita lakukan. Ada baiknya pula jika kita terapkan prinsip 3M yaitu 1) mulai dari diri sendiri, 2) mulai dari hal yang terkecil, dan 3) mulai dari sekarang. Kemandirian disertai dengan kesabaran dan doa adalah jalan keluar dari kemelut bangsa yang ada. 

Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamit Thoriq

Wassalamu’alaikum War. Wab.       


Sumber : PC PMII Kota Malang

No comments:

Post a Comment

Designed By Zay Multimedia